Tantangan Nasionalisme Di tengah Viral Tagar #KaburAjaDulu

Ubek Depok
0

Ubek Depok - Tagar #KaburAjaDulu yang dalam beberapa hari terakhir sempat bertengger sebagai topik paling tren di linimasa, jika direnungi lebih dalam, bukan sekadar kelakar anak muda yang jenuh, melainkan sebuah alarm sosial yang memantulkan keresahan kolektif.

 

Jadi ini bukan soal kabur melainkan soal harapan yang mulai memudar atau kekecewaan yang sangat dalam.

 

Anak-anak muda juga melihat peluang di luar Indonesia lebih menggiurkan, misalnya tawaran memulai hidup baru di Jepang atau Kanada. Bukan karena mereka tak cinta negeri atau tak nasionalis, bukan karena mereka malas berjuang di negeri sendiri. Tetapi, mari jujur bahwa sistem yang seharusnya menopang malah kerap menyesakkan. Pendidikan tak terakses bebas, lapangan kerja semakin sempit, upah rendah, harga properti semakin tak terjangkau, dan meritokrasi masih sering dikalahkan oleh nepotisme. Akhirnya, muncul pertanyaan, “Kalau di tempat lain lebih menjanjikan, kenapa tidak?"

 

GoodStats.id

Survei yang dilakukan oleh JobStreet berjudul "Decoding Global Talent 2024,ungkap tren minat tinggi pekerja  Indonesia bekerja ke luar negeri.

 

Keinginan untuk bekerja di luar negeri tetap kuat di angka 67% pada kalangan tenaga kerja Indonesia pada tahun 2023
 
1/3 masyarakat Indonesia menyatakan preferensi untuk bekerja di luar negeri dalam jangka menengah dan berniat untuk kembali ke Indonesia setelah jangka waktu lebih dari 3 tahun
 
Indonesia naik 18 peringkat dalam peringkat negara tujuan yang diminati bagi para profesional yang ingin beralih pekerjaan, melonjak dari posisi 51 di tahun 2020 menjadi 33 di tahun 2023
 
GoodStats.id

 

Fenomena ini bukan sekadar ekspresi iseng, melainkan bentuk soft protest. Ada banyak cara orang mengekspresikan ketidakpuasan di antaranya turun ke jalan, mengisi petisi, hingga memilih untuk diam dan pergi. Yang terakhir ini justru lebih berbahaya. Jika yang terbaik memilih hengkang, siapa yang akan tersisa?

 

Lantas, solusi apa yang bisa dilakukan? Mungkin inilah saatnya negara melakukan audit besar-besaran terhadap kebijakan yang membuat generasi mudanya lebih memilih angkat kaki. Sederhananya, orang akan bertahan jika mereka melihat masa depan di sini.

 

Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI) Abdul Kadir Karding sendiri mendorong peningkatan kapasitas pekerja migran Indonesia (PMI) ketika merespons tren #KaburAjaDulu di media sosial.

 

Karding menganggap tren yang menyoroti tentang menariknya peluang kerja di luar negeri tersebut sebagai hal positif.

 

Namun, dia menekankan tentang perlunya bagi masyarakat untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan mereka sebelum memilih untuk bekerja di luar negeri. "Dengan catatan, masyarakat yang memiliki keinginan (untuk) terlebih dahulu meningkatkan keterampilan dan kemampuannya," kata dia.

 

Namun di luar itu, negeri ini sudah saatnya membangun kembali harapan agar tidak terlanjur memudar. Beberapa hal yang semestinya dilakukan di antaranya dengan mereformasi sistem ekonomi yang harus lebih konkret.

 

Wacana hilirisasi dan industri kreatif memang menjanjikan, tetapi jika kesempatan tetap dimonopoli segelintir orang, efeknya tak akan terasa luas.

 

Dibutuhkan kebijakan yang benar-benar membuka akses bagi anak muda untuk berdaya. Subsidi pendidikan bukan hanya untuk yang pintar, tetapi juga yang potensial.

 

Keterbukaan pasar tenaga kerja harus lebih luas agar kesempatan lebih merata. Dan yang terpenting, sistem yang menghargai keahlian, bukan koneksi.

 

Kemudian, negeri ini perlu mengoreksi budaya kerja. Negara maju menawarkan keseimbangan antara kehidupan pribadi dan profesional, sementara di sini, kerap kali lembur tanpa batas dianggap dedikasi.

 

Gaji tinggi di luar negeri bukan sekadar angka, tetapi mencerminkan sistem yang lebih menghargai tenaga kerja. Jika ingin anak muda bertahan, maka sudah saatnya menyusun sistem kerja yang adil dan manusiawi.

 

Selanjutnya, pemerintah harus berani mengakui jika ada kebijakan yang tak tepat sasaran maka harus segera ditata ulang. Generasi ini tumbuh dengan internet, mereka membaca, mereka membandingkan.

 

Janji kosong tidak lagi laku dijual. Dibutuhkan kebijakan konkret yang bisa dirasakan dampaknya secara langsung, bukan sekadar wacana di atas kertas.

 

Lalu, jika negara ingin mempertahankan bakat-bakat terbaik, tawarkan saja insentif. Banyak negara sudah melakukannya, beasiswa berbasis keterampilan yang diikuti dengan kontrak kerja, bantuan modal usaha dengan regulasi yang transparan, hingga reformasi pajak bagi profesional muda.

 

Ini bukan sekadar insentif ekonomi, tetapi juga membangun ikatan emosional antara warga dan negaranya.

 

Terakhir, semua perlu membangun narasi baru tentang harapan. #KaburAjaDulu adalah cerminan dari keputusasaan.

 

Jika ingin mengubahnya, bangsa ini butuh cerita baru bahwa bertahan di negeri ini bukan hukuman, tetapi sebuah kesempatan. (sumber : Antara)

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)